mataangin

5.2.09

Perang Agama, Ras, atau Apa?

Israel memang nyusahin. Kita semua jadi repot. Harus demo, harus mengutuk, harus wiridan. Qunut nazilah. Diskusi sana-sini. Belum keluar duitnya. Utus orang untuk bantu penanganan kesehatan. Macam-macam. Anda semua juga pasti jadi repot. Ngerusak acara. Ngaco irama. Program kita jadi ekstra ini-itu. Hati jadi rusuh. Pikiran mesti menanggung beban dan mengolah hal-hal yang mestinya tak perlu. Saya diserbu SMS. Ada yang info saja, ada yang mobilisasi. Ada yang menuntut supaya saya turut menyatakan kutukan, seolah-olah ada yang tertarik memerlukan kutukan saya. Lebih-lebih lagi seakan-akan kutukan saya akan mampu mengubah arah terbangnya nyamuk.

"Kenapa sih Cak kok semua pembicaraan tentang penyerbuan Israel ke Gaza hanya satu saja temanya: kekejaman?" kata sepotong SMS.

Saya jawab dengan jengkel, "Pertama, kok nanya saya? Kedua, emang saya tahu apa tentang itu? Ketiga, orang lagi perang, kita diskusi."

"Kenapa tidak ada analisis yang agak luas, yang historis-komprehensif tentang segala hal yang melatarbelakangi konflik itu."

"Walah! Mana saya paham...."

"Kan harus diperjelas oleh kita semua bahwa konflik Israel-Palestina itu konflik ras, konflik agama, atau apa? Kalau ras, kan banyak juga warga Palestina yang beragama Nasrani. Apakah ini perang agama Yahudi melawan Islam-Kristen? Kalau ya demikian, mestinya semua umat Islam di dunia bahu-membahu dengan semua umat Protestan dan Katolik melawan Yahudi. Hancur dong Israel ngelawan Arab Saudi dan negara-negara Islam lain, Indonesia, gabung sama Amerika, Jerman, Inggris dll. Dengan catatan bahwa agama mayoritas penduduk menentukan sikap pemerintahnya. "

"Ya, lantas?"

"Orang beragama Yahudi kan juga tidak hanya ada di Israel, tapi juga di mana-mana, terutama negara-negara Barat, bahkan di Amerika Serikat banyak menguasai berbagai kunci strategis di bidang politik dan perekonomian. Berarti akan terjadi multikonflik di berbagai negara ndak karu-karuan di antara pemeluk tiga agama itu, kecuali Indonesia... ."

Saya goda, "Indonesia tak kalah serem konflik internalnya. Kan Yahudi itu bukan tidak ada di Indonesia. Jewish mirip-mirip Jawa, J dan W-nya. Ibu kota Israel saja Java Tel Aviv. Banyak kantor Yahudi di negara-negara Barat selalu pakai kata "Java". Ukiran hias di mahkota para rabi Yahudi mirip ukiran pintu bagian atas di sejumlah tempat pesisir utara Pulau Jawa. Makanya, kalau memang Israel jantan dan punya nyali, suruh serbu Indonesia, ayo kalau berani!"

"Saya serius, Cak."

"Saya juga serius. Kalau Israel berani nyerang kita, persoalan PHK menjadi beres. Jutaan orang yang tak punya kerjaan, jadi punya kerjaan. Pasti senang teman-teman itu kalau ada situasi perang. Hidup nggak ada harapan kok ditantang berkelahi, ya ayo!"

"Jadi, menurut Cak Nun, itu perang agama atau bukan?"

"Emang saya ahli Timur Tengah? Pakar agama? Nyang bener aje...."

"Atau perang ras?"

"Kalau saya sih ndak penting ras, agama, atau apa pun, pokoknya tidak perang."

"Kalau ras, kayaknya nggak juga. Kan di Israel sendiri ada demo menentang keputusan perdana menteri mereka yang memutuskan penyerbuan itu. Orang Yahudi kan tidak semua Zionis. Banyak juga orang Yahudi yang anti-Zionisme, baik dari kalangan Yahudi Askinazim maupun Sepharadim. Bahkan bukan tidak ada orang Yahudi yang beragama Kristen atau Islam. Atau malah jangan-jangan ada juga Yahudi beragama Kristen atau Islam tapi pro-Zionisme. "

"Anda ini bingung kok ngajak-ngajak saya!"

"Saya ini mau tahu itu sebenarnya konflik apa? Kok nggak ada ujungnya, nggak ada selesainya, kayaknya sepanjang masa."

"Salah alamat kalau nanya ke saya. Yang paling efektif dan produktif, bertanya kepada Tuhan."

"Apa urusannya ama Tuhan?"

"Lho, cacing saja punya garis keterkaitan yang logis rasional dengan Tuhan."

"Emang Tuhan mungkin terlibat dalam peperangan?"

Saya jadi gatal ingin menggoda lebih lanjut. "Kan seolah-olah Tuhan menggambarkan bahwa kehidupan ini begini: Ia memperjalankan manusia di malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Kan begitu di Surah Al-Isro. Hidup ini ulang-alik berdialektika dari dan di antara kegembiraan dan duka, di antara cahaya dan kegelapan, di antara yang menyenangkan dan yang menyusahkan, di antara yang bikin hati semringah dengan yang bikin hati gerah. Kalau ingat Masjidil Haram, hati senang. Lantas ingat Masjidil Aqsa, hati jadi rusuh lagi. Dan itu semua berlangsung di malam hari. Artinya hidup ini kegelapan: kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi semenit mendatang. Apa kita penjual nasi, sopir taksi, pengusaha besar, pejabat tinggi, atau siapa pun: tidak tahu persis dagangan kita laku berapa, saham kita anjlok atau tidak, di depan sana ada calon penumpang nyegat taksi saya atau tidak. Hidup adalah malam hari. Dan seluruh SMS Anda itu seratus persen mencampakkan
saya ke kegelapan malam...."

"Gini aja, deh," kata SMS itu lagi, "kenapa sih kok Arab Saudi dan negara-negara Arab Islam tetangga Palestina tidak ngebantuin? Bahkan Iran yang dulu mengancam akan kirim rudal, nggak juga sampai sekarang."

"Mau saya teleponkan Pak Ahmadinejad sekarang?"

"Saya serius, Cak"

"Saya tidak hanya serius mikirin Palestina, tapi juga makin stres mikirin pulsa....".

(Emha Ainun Nadjib/Koran Tempo/6 Januari 2009/PadhangmBulanN etDok)

Allah kita Engkau kan

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Di dalam kehidupan sehari-hari di muka bumi, Allah kita akui adaNya, namun belum tentu kita posisikan sebagai Pihak Pertama dalam konsentrasi dan kesadaran hidup kita. Allah belum kita jadikan Pembimbing Utama hidup kita. Allah belum kita jadikan Panglima Agung yang setiap instruksiNya kita patuhi dan setiap laranganNya kita jauhi. Allah masih belum kita letakkan di tempat utama dalam urusan-urusan kita, firman atau ayat-ayatNya belum kita jadikan wacana utama dalam menjalani kehidupan. Mungkin karena kita masih belum bisa berpikir rasional, atau mungkin kita belum memperoleh informasi yang cukup untuk membawa kita kepada betapa pentingnya Ia, atau justru karena kita sudah merasa pandai dengan kesarjanaan kehidupan kita.

Pada umumnya Allah masih kita letakkan sebagai Pihak Ketiga yang kita sebut 'Dia' dan sesekali saja kita sebut, utamanya ketika sedang susah dan kepepet oleh suatu masalah.

Jangankan lagi untuk mencapai kesadaran ke-Isa-an di mana pada konsentrasi batiniah terdalam kita menyadari bahwa pada hakekatnya kita ini tidak ada dan semata-mata hanya 'di-ada-kan' olehNya. Sehingga pada konsentrasi yang demikian kita melebur dan lenyap, sampai akhirnya yang benar-benar ada, yang sejati ada, hanya Allah. Dan pada saat itu Allah adalah 'Aku', karena 'aku' yang makhluk ini sudah lenyap sirna bagaikan laron yang terbakar oleh dahsyatnya sinar matahari.

Adapun di dalam Ikrar Husnul Khatimah itu kita memposisikan Allah sebagai 'Engkau'. Kita sadar bahwa kehidupan kita ini berada di hadapanNya. Allah bukan 'di samping' kita atau 'di sana', melainkan tepat di depan kita.

Sesungguhnya kesadaran meng-Engkau-kan Allah merupakan milik sehari-hari setiap Muslim yang Mu'min. Di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan, Allah tidak pernah berada 'di sana', melainkan senantiasa berada di hadapan kita.

Bukankah jika melakukan shalat kita berupaya untuk menyadari seolah-olah kita sedang melihatNya di hadapan kita, dan kalau kita tidak mampu melihatnya maka Ia yang melihat kita dari hadapan kita sendiri? Dengan demikian Ikrar Husnul Khatimah adalah suatu peristiwa kesadaran di mana Allah bukan sekedar 'Ia' yang 'di sana' yang berposisi sebagai pelengkap penderita dari program-program karir sejarah kita. Melainkan di hadapan kita, dan merupakan konsern utama kehidupan kita.
(Seri PadangBulan (215)/PmBNetDok/1999)

3.2.09

Kepada Jamaah Maiyah tentang Kasus Monas

Oleh: Emha Ainun Nadjib

  1. Kasus Monas hanya salah satu output kecil dari rekayasa besar panjang suatu kekuatan sistem, keuangan, struktur politik global dan jaringan ideologi global - yang menghalangi jangan sampai Indonesia bangkit, jangan sampai bangsa Indonesia membangkitkan keunggulan dan ketangguhannya, serta jangan sampai muncul kepemimpinan dunia atas watak Islam Indonesia yang damai, hangat dan kaya budaya.
  2. Bangsa Indonesia, NKRI dan Ummat Islam Indonesia sudah, sedang dan akan terus dikurung oleh tipudaya ekonomi dan politik, oleh pengkonyolan kebudayaan, pendangkalan tafsir Agama, infiltrasi wacana dan ideologi penghancur kemanusiaan, serta adu domba antar kelompok, segmen dan strata.
  3. Dalam bahasa Maiyah: setiap munculan ‘cahaya’ pasti dimusnahkan, minimal ditutupi atau tak diberi peluang sejarah - sebagaimana Gerakan Maiyah sendiri selalu ditolak oleh arus besar yang mengungkung perikehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia.
  4. Kebodohan umum dijadikan alat utama “penggelapan cahaya” itu, sehingga masyarakat tertindas justru secara samar dijadikan pelaku penindasan atas diri mereka sendiri, melalui kebodohan massal yang membuat mereka bertengkar satu sama lain.
  5. Para JM hendaknya membangun dan mempertahankan kemandirian tafsir atas tema-tema seperti pluralisme, toleransi antar agama, multikulturalisme dll yang dijadikan alat tipudaya massal.
  6. Para JM tidak memerlukan nasehat atau instruksi untuk tidak melakukan kriminalitas fisik, psikologis maupun rohaniyah. JM juga sangat dewasa untuk menjaga diri tidak terlibat pertengkaran atas dasar ketiadaan ilmu dan pengetahuan tentang pemetaan masalah yang sedang berlangsung.
  7. Seluruh tipudaya sejarah atas bangsa Indonesia dan Ummat Islam itu hanya bisa diatasi oleh intervensi Allah dan syafaat Rasulullah, dan semua JM sudah tahu jalan menuju arah itu. Jika Allah tidak menolong bangsa dan ummat, insyaallah mustahil Ia tidak mendengarkan kerinduan dan dambaanmu, serta Ia mememuhi janji untuk menshalawatimu sebagai balasan atas shalawatmu tiap saat kepada Muhammad saw kekasih-Nya.

Dipublikasikan oleh: Padhangmbulan.com

Maulid Agung Istana Kadriah Kesultanan Pontianak

Oleh : Emha Ainun Nadjib


Wajah Nusantara Esok Hari

“Ibu Sejarah” Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) rakyat dari ratusan Keraton-Keraton di Kepulauan Nusantara, serta seluruh ummat manusia yang menghuni hamparan Bumi Nusantara - yang kemudian menyebut dirinya Bangsa Indonesia.

“Bapak Sejarah” NKRI adalah mozaik Keraton-Keraton se-Nusantara yang pada momentum surutnya penjajahan Belanda merelakan dirinya untuk melebur menjadi sebuah kesatuan dan “melantik Putra Sejarah” mereka yang bernama NKRI dan Bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia secara resmi harfiah adalah bangsa yang lahir pada 17 Agustus 1945, tetapi secara substansial-historis adalah bangsa yang melahirkan Kutai, Mataram Hindu, Sriwijaya, Medang, Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singosari, Majapahit, Padjajaran, Samudra Pasai, Demak, Pajang, Tanjungpura, Mataram Islam, Gowa, Bone, Ternate, Tidore, Bacan, Darmasraya, Pagaruyung, Cirebon, Banten, Martapura, Bendahulu, Klungkung, Bima dll. Itu hanya yang dikenal: bisa jadi bangsa kita ber-induk jauh lebih tua dari yang tercatat oleh sejarah. Bahkan belum bisa dipastikan bahwa Induk Bangsa kita “harus” lebih muda dari Nabi Ibrahim AS (yang anak turun beliau memegang kekuasaan dan keuangan global dunia abad 20-21 sekarang ini). Bahkan belum bisa dibantah bahwa Induk Bangsa kita lebih tua dibanding Nabi Nuh AS.

Kita yang berkumpul dalam Maulid Agung Rasulullah Muhammad SAW di Kesultanan Kadriah Pontianak malam ini adalah sekaligus “Ibu”, “Bapak” dan “Anak”. Salah satu perjuangan kita adalah mengupayakan dan memastikan bahwa kita bukan Bapak-Ibu yang sok berjasa dan ingin mengambil kekuasaan kembali. Sambil mengusahakan sikap bahwa kita bukan Anak durhaka, yang menjalankan kehidupan dengan membuang Ibu-Bapaknya, yang “nikah” dengan “Dewi Demokrasi” untuk menjadi budak danjajahannya secara bodoh.

NKRI dibangun atau disangga bangunannya oleh Lima Pilar:

  • Rakyat
  • Angkatan Bersenjata
  • Kaum Intelektual
  • Kekuatan Adat
  • Kekuatan Agama

Orla dipimpin kekuasaan Pilar-3 berpusat pada Bung Karno.
Orba
 dikuasai oleh Pilar-2 dengan mendayagunakan secara aktif Pilar-3, mengekspoitasi secara terbatas Pilar-4 dan memanipulasi Pilar-5.
Era Reformasi
 dikuasai oleh Pilar-3 yang berpusat pada Parlemen, menganak-tirikan Pilar-2, dan belum memiliki kecerdasan sejarah untuk mengakomodasikan Pilar-4, serta meneruskan eksploitasi dan manipulasi atas Pilar-5.

Kita sedang berada di depan pintu gerbang sejarah untuk mempersatukan kembali “Ibu Bapak Anak” itu dengan perenungan dan kecerdasan dari tingkat sangkan-paran penciptaan, teologi, filosofi, pelahiran pemahaman sosial, hingga ke konstitusi tentang “Wajah Nusantara” esok hari.

Mulai saat ini hingga 7-8 tahun ke depan merupakan final ujian Tuhan dan sejarah bagi Bangsa Besar Induk sangat banyak bangsa-bangsa di muka bumi, untuk melahirkan kembali “Garuda” yang perkasa, indah dan arif, untuk Bangkit pada 100 tahun kedua, atau hancur total di puncak derita.

Shollu ‘ala Muhammad!
Muhammad Ainun Nadjib
Pontianak 20 Mei 2008

Dipublikasikan oleh Padhangmbulan.com

Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Jangankan menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar lulus? Alangkah mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama, Kiai, Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai surban di kepalanya, mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-yakinkan diri.

Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan, Begawan, Undagi, Ulil Abshar, Ulil Albab, Ulin Nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor, Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan kebenaran dan kemuliaan, di sisi lain itu adalah “mata’ul ghurur”, perhiasan dunia, serta “la’ibun wa lahwun”, permainan dan senda gurau.

Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu yang dulu merupakan visi missi Pihak yang merancangnya.

Kata Islam, seseorang adalah Nabi karena nubuwah. Adalah Rasul karena risalah. Adalah Wali karena walayah. Dan adalah manusia karena khilafah. Keempat ‘ah’ itu milik Allah, dilimpahkan alias diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda, dengan Ia siapkan tingkat ‘human and social penetration’ yang juga bertingkat-tingkat.

Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai ‘icon’ suatu golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin, hewan atau alam, maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah.

Secara simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah ‘memperistri’ makhluk-makhlukNya, lelaki ‘memperistri’ perempuan dan Pemerintah ‘dipersuamikan’ oleh rakyat — maka ummat manusia dinobatkan menjadi ’suami’ bagi alam semesta. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan methodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi “rahmatan lil’alamin”.

Sejarah ummat manusia di muka bumi telah mencatat peradaban-peradaban para suami istri itu dengan penumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi dan kepalsuan yang bertele-tele, kebodohan ilmu dan kemandegan akal yang amat memalukan, serta kekerdilan mental dan kebutaan spiritual yang senantiasa ditutup-tutupi dengan berbagai mode kesombangan yang mewah namun menggelikan dan menjijikkan.

Manusia tidak bisa disebut pernah sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan, demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan, menimbang dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan sendiri memang ‘terlibat’ dalam hal ini: “Inna khalaqnal insana fil’ajal”: sesungguhnya Aku ciptakan manusia cenderung bersikap tergesa-gesa….

Sejarah sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan tafakkur dan ijtihad ummat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zigzag, spiral hingga thawaf siklikal. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun kampusnya bernama universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi murid (murid: orang yang menghendaki ilmu), dipaksakan naik ke bangku keangkuhan dengan menggelari diri maha-siswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam di ‘koma’ — begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.

Di manakah pintu ilmu, babul ‘ilmi? Di manakah kota raya ilmu, madinatul ‘ilmi? Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka. Sambil tiba-tiba menaiki ‘maha’-kendaraan yang bernama demokrasi, world class society, pilkada pemilu pildacil, public figure, album ‘religi’, Majlis Ulama, clean government, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di tengah lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat syaraf otak manusianya.

Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu takkan pernah sanggup dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Padahal pendaran-pendaran elektromagnetik ‘nur’ Allah yang bertebaran bertaburan keseluruh permukaan bumi, memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia.

Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di antara kita? Makan saja sesat sampai ke propinsi kolesterol, asam urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke. Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah festival demi festival kesesatan nasional. Pemilu salah pilih wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa. Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai, icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu lorong itu juga.

Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya. Kesesatan ilmu. Kesesatan bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat moral atau akhlak. Sesat fiqih atau hukum. Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi yang menjerumuskan orang banyak, policy politik yang kontraproduktif terhadap keharusan kemajuan dan pembangunan, adalah - pinjam bahasa Tuhan - “dhulmun ‘adhim”, kesesatan yang nyata.

Sesat di segala wilayah: perda, perpres, perdes, di rumah tangga, perusahaan, di jalanan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis membentur-benturkan kepala ke lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah, ‘hanya’ karena seekor onta terpeleset di jalan di wilayah pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah, dilemma kesengsaraan ribuan penduduk bawah jalan tol belum beres, pemimpinnya tega nampang mencalonkan diri akan jadi Presiden.

Dan sama sekali tak bisa kita simpulkan bahwa berbagai macam kesesatan yang sedang kita alami atau sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan AlQiyadah.

Hanya saja AlQiyadah menyentuh wilayah ‘pamali’, ’sirik’, ‘wadi’, ‘jimat’ hatinya ratusan ribu orang. Yakni aqidah. Teologi. Wacana sangat privat yang sudah lebih mendalam di lubuk jiwa — meskipun mungkin karena saking mendalamnya maka susah diaplikasikan keluar diri manusia untuk menjadi kebaikan sosial bersama. Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti terpuji dan ke mana-mana pasti banyak kawan. Andaikan AlQiyadah memakai tabir Parpol, segera para pencoleng akan berkumpul mengerumuninya. Sebab bagi cara berpikir keagamaan umum: parpol, uang, korupsi, keculasan — itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi Muhammad.

Diam-diam saya pribadi menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan hidup saya tidak diketahui umum atau pihak yang berwajib. Saya mohon dengan sangat bagi teman-teman yang tahu bahwa selama ini saya mendayung perahu hidup saya di aliran-aliran sesat karena tidak umum dan bukan mainstream: hendaklah tak usah melaporkan kepada MUI dan Pemerintah.

Itu semua karena sampai usia menjelang 60 th Allah memperkenankan saya menjadi penduduk yang tak diperhatikan, tak didengarkan, tak dianggep, selalu diletakkan di luar garis-garis pemetaan dlam hal apapun saja. Segala yang saya dan kami lakukan, rekor apapun yang pernah kami capai, ke benua dan kota-kota besar dunia belahan manapun kami mengibarkan Merah Putih, dengan berapa ribu dan puluh ribu massapun saya bercengkerama, prestasi dan kualitas apapun yang kami gapai: saya dan kami tetap di luar peta.

Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak saya masuk sorga - sesudah lewat neraka: orang tetap tidak percaya bahwa saya masuk sorga. Itulah sebabnya pembicaraan di setiap forum selalu saya awali dengan kalimat “Jangan percaya pada saya, percayalah sama Allah dan Muhammad”. Saya merasa bodoh kalau saya membaiat orang, karena dengan begitu aku yang melegitimasi kedudukanny, sehingga aku akan harus turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh orang yang saya baiat. Sedangkan di hadapan peradilan Tuhan, tidak logis kalau aku bisa menolong anakku atau aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau bersyahadat dengan dirinya sendiri.

Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri, karena yang substansial adalah pengakuan Allah atasku, jika hal itu sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya tidak tega dan geli kalau orang menjadikan saya sebagai panutan, menyebut saya Ustadz, Kiai, bahkan ada spanduk berbunyi “Selamat Datang KH Emha Ainun Nadjib”. Ya Allah lucunya.

Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya.

Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut dirinya dholim, “Robbana dholamna anfusana”, “Inni kuntu minadh-dholimin”. Maka siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan adalah milikku sehari-hari. Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum pantas. Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW gabung dengan darah Brawijaya, pasti kututupi sebagaimana kurahasiakan auratku.

Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O tidak. Saya seorang Da’i pelaku dakwah. Da’wah artinya panggilan, yad’u artinya memanggil, pelakunya Da’i. Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang selain saya itu benar-benar ada. Da’wah itu panggilan pada skala horisontal dengan sesama makhluk. Kalau vertikal, dari kata yang sama menjadi du’a, bahasa Indonesianya: doa, kata kerjanya juga yad’u, subyeknya juga Da’i. Berdoa adalah menyapa Allah.

Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir: tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin ‘gaul’ sama Dia, ‘mentuhankan’ Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-minta — meskipun menurut pemahaman lain Tuhan tidaklah sama dengan tetangga.

Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan benar menusuk kalbu, keridhaanmu menerima segala tiba, tak setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertahta….

Allah sendiri, Masya Allah memang Maha Menyesatkan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan olehNya tak seorangpun bisa memberinya petunjuk.

Aku yang kedua, Insya Allah Anda yang pertama. ***

Frekwensi-Energi-Materi Negeri Gontor

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Bahan, kedirian, asset dan potensialitas setiap individu atau kelompok manusia dalam kehidupan: sebaiknya dikonsep secara jelas akan dijadikan formula-materiformula-enerji ataukahformula-frekwensi. Atau pakai variabel: dari potensialitas itu berapa % yang diaplikasikan menjadi bentukan-materi, berapa % yang enerji dan berapa % frekwensi.Kalau dalam konteks kehidupan bernegara misalnya, output-frekwensi Gontor luar biasa. Setiap ‘penduduk’ Gontor bisa bersambung frekwensinya dan tune-in satu sama lain cukup melalui satu dua kata: “dhomir”, “layyin”, “Bani Miran”, “mad’u”…Tetapi kesanggupan Gontor untuk “energizing the nation life” terbatas pada fenomenologi sistem kependidikannya, sedikit karakter manusia produk-produknya, atau cuatan harga diri, kebanggaan dan sedikit ’sok’ yang muncul dari identitas ke-Gontoran- seseorang. Para alumnus Gontor kalau bicara seperti “kitiran” atau baling-baling, kalau pidato “nggaya pol” dan enak dikenyam oleh receiver estetika pendengarnya.

Yang kemudian dimaksudkan dengan formula-materi adalah kemungkinan Gontor berlaga, berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui bentukan-bentukan ‘materiil’ misalnya Parpol, atau sekurang-kurangnya Ormas Nasional, atau sampai tingkat mengajukan Capres dan menawarkan konsep penyembuhan sakitnya Negara dengan dasar ilmu “Aji-aji Zarkasyi”.

***********

Ini belum ada hubungannya dengan setuju atau tak setuju terlebih dulu: ini sekedar pembacaan diri, self identification.

Sejauh ini Gontor belum jelas konsep materi-enerji-frekwensinya. Terutama terjadi berbagai ketidakjelasan sikap atau kerancuan berpikir di antara enerji dan materi. Tidak berpolitik tapi sejumlah orang serta alam pikiran penduduknya “blakra^an” ke wilayah politik praktis, bangga secara naif dan bahlul terhadap Cak Nur atau Din mau jadi Presiden, “Ha^ula^” pencolotan ke parpol ini itu dan birokrasi sana sini tanpa sambungan dengan akar ke-Gontor-an dan ke-Zarkasyi-an.

Kenapa tak sekalian bikin Parpol, dengan gelombang/frekwensi nasional dan dengan enerji unggul dan tradisi sistem pengkaderannya yang sebenarnya lumayan: Partai Gontor bisa 3X lipat PKS. Gontor yang “Pondok Modern” menawarkan kepada Indonesia “Negara Modern” dengan kesadaran dan konsep transformasi “peradaban” dengan bekal wacana dan hikmah yang digali dari kematangan sejarah Trimurti.

Dengan begitu maka lingkup kependidikan Gontor dikembangkan atau diijtihadi dengan mendirikan “Laboratorium Masa Depan Indonesia”, membangun infrastruktur komprehensif untuk muatan dan kwalitas laboratorium itu, pergi beranjak ke depan dari stagnasi “Muhadloroh Pethitha-pethithi” dengan sorak sorai tanpa makna.

Atau kalau Gontor mengambil keputusan untuk bergerak di wilayah frekwensi dan energi saja, ya tak perlu blakra^an njawil-njawil politik praktis, punyai harga diri untuk tak perlu menjadi “fans” dari semesta bodoh mainstream kehidupan politik elite Indonesia. Gontor sudah hebat jadi “Shao Lin” saja.

KENDURI CINTA

Kata ‘cinta’ dimaknai seluas mungkin, komprehensif dan holistik. ‘Clean government’, misalnya adalah manifestasi cinta kemanusiaan, universal, dalam skala nasional, dimana sejumlah orang yang digaji oleh rakyat karena dipercaya untuk menjalankan mekanisme penyejahteraan seluruh rakyat - berkewajiban menciptakan pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang korup adalah pengingkaran atas profesionalisme politik, sekaligus pengkhianatan cinta. Kepala negara atau Wakil Rakyat ‘diberi ruang’ oleh rakyat dengan tugas agar mereka menciptakan ‘ruang’ bagi rakyat. Jika keduanya hanya berperan merepotkan rakyat, hanya menjadi ‘perabot’ dimana rakyat yang harus terus menerus menampung perilakukanya dan memaklumi kesalahan-kesalahan – itu adalah bentuk disharmoni cinta. Yang berhak menjadi ‘perabot’ dalam kehidupan, yang berhak sepenuhnya diakomodasikan tanpa mengakomodasikan, hanya bayi. Dengan kata lain, jangankan pemimpin masyarakat, atau apalagi pengurus negara yang dibayar rakyat, sedangkan manusia biasa saja jangan menjadi seperti bayi. Manusia adalah subyek yang mengatasi masalah, bukan yang justru menjadi masalah…(Emha Ainun Nadjib)

Arsip Blog